Pulang ke Medan bersama keluarga besar dan merayakan Natal dan Tahun Baru 2011.. Acara ini sudah lama direncanakan..terutama setelah bokap di panggil Tuhan kita merencanakan untuk pulang bersama…yang mungkin hal ini sulit untuk di lakukan di masa yang akan datang..
Terakhir pulang bersama adalah pada saat aku kelas naik kelas 2 SMA..22 tahun yang lalu…
Salah satu hal yang dilakukan selama liburan di Medan adalah menengok kampung “Batu Karang”… memasuki kampong Batu Karang yang terlintas adalah sosok “bokap” Raja Gagah Bangun…ahhhh sedih rasanya…tapi mungkin saat itu bokap juga “ikut” bersama kami…
” ziarah” ke makam leluhur..salah satunya adalah ziarah ke tugu / monumen “Panglima Gara Mata” Pahlawan Nasional dari Batukarang, Tanah Karo…
Ada sedikit cerita mengenai “Panglima Gara Mata” yang tidak lain adalah “Nek Bolang” juga Kakek dari bokap (Raja Gagah Bangun)…
Kiras Bangun adalah seorang Pahlawan nasional Indonesia. Kiras Bangun menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda, kampung Batu Karang, Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
Kerjasama yang digalang tersebut menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung yang beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo. Kiras juga memimpin gerakan bawah tanah di daerah tersebut.
Kiras yang juga dikenal dengan nama Garamata itu akhirnya dibuang ke Cipinang bersama kedua anaknya antara tahun 1919-1926. Kiras gugur pada 22 Oktober 1942.
Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.
Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik. Masyarakat menamakan beliau Garamata yang bermakna “Mata Merah”.
Masa mudanya ia sering pergi dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.
Dalam bertindak beliau selalu berpegang teguh pada prinsip membenarkan yang benar, tidak berpihak, menyebabkan berbagai sengketa dapat diredakan secara damai yang memuaskan semua pihak.
Simpati masyarakat tidak terbatas dikawasan Tanaha Karo saja, melainkan meluas sampai ke daerah tetangga seperti: Tanah Pinem Dairi, Singkil Aceh Selatan, Alas Gayo Aceh Tenggara, Langkat dan Deli Serdang.
Hubungan dengan daerah–daerah tersebut terpelihara serasi, terlebih-lebih kegigihan perlawanan rakyat Aceh Selatan dan Aceh Tenggara terhadap penjajah Belanda, dikagumi dan dipantau secara berlanjut.
Kepopuleran Kiras Bangun/ Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya.
Nah inilah sedikit kisah mengenai Kiras Bangun / Garamata, ada kebanggaan tersendiri dengan mengenalnya dan menjadi cucunya…..
Teringat juga suatu malam di rumah Depok, waktu itu bokap sudah sakit, dan selalu di tempat tidur…aku harus nemenin bokap biar nggak sendirian karena “nyokap” sedang ada acara dan nginep di puncak….
Sudah jam 11 malam…aku masuk ke kamar bokap…ternyata bokap belum tidur.. (sst..mungkin dia sedang berpikir macam2 kali ya…kelihatan dari sorot matanya dan raut wajahnya..) kasian bokap…pelan-pelan aku memberikan minyak penghangat ke sekujur badan bokap….memijit-mijit kakinya…terasa sekali kakinya sudah lemah..padahal dulu kedua kaki ini begitu kokoh menopang badannya saat mengendong aku…mengajari aku berjalan..ahhh rasanya begitu sedih melihatnya saat itu…
Ga tau bagaimana mulanya…. bapak cerita mengenai “Nek Bolang…ayahnya bapak” yang adalah anaknya dari Kiras Bangun / Garamata..
Ada air mata mengalir di pipinya…suaranya tercekat….ya bokap menangis…sudah lama tidak melihat dia menangis…entah apa yang dirasakannya saat itu…ah cerita yang sangat sulit utk dilupakan… dan menjadi kenangan yang tak terlupakan…
Pastinya saat ini bokap sudah bersama dengan “Nek Bolang” dan juga “Bolang” Garamata…